Otonomi Perguruan Tinggi dan Kebijakan Rektor 35 Mahasiswa Terancam Drop Out
Sasambotimes, Mataram- Kejahatan kemanusiaan di sektor pendidikan kembali terjadi di sektor pendidikan tinggi, sekitar 1.800 mahasiswa di skorsing dan 35 mahasiswa di Drop Out kurun waktu tahun 2023. Alasan Rektor UMMat memutus sepihak massa studi ribuan mahasiswa karena itu sudah menjadi ketetapan dari internal Muhammadiyah, sebab Muhammadiyah memiliki otonomi khusus untuk membuat kebijakan di sektor pendidikan.
Otonomi perguruan Tinggi dalam kaca mata Muhammadiyah.
1. Kebijakan penentuan biaya pendidikan
Semua kita sudah paham jika pendidikan menjadi salah satu amal usaha yang dikelola oleh kemuhammadiyahan. Oleh sebab itu, otonomi kampus ditafsir *semau gue* oleh pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan UMMat, sehingga tidak heran jika kebijakan pembiayaan pendidikan dan manajemen pendidikan di kampus UMMat diarahkan untuk kepentingan lembaga kemuhammadiyahan. Kata amal usaha dijadikan alasan untuk membenarkan, jika pengelolaan pendidikan dibawah naungan Muhammadiyah adalah untuk menopang aktifitas organisasi Muhammadiyah, sehingga tidak heran jika Muhammadiyah menjadi ormas terkaya di dunia.
Pengelolaan pendidikan oleh Muhammadiyah bertentangan dengan pengelolaan dari yayasan lainnya dan sangat jauh dari tujuan dan cita-cita pendidikan nasional. Dalam mendorong partisipasi masyarakat miskin di sektor pendidikan, UU No. 20 tentang sistem pendidikan nasional tahun 2003 menetapkan APBN dan APBD sekurang-kurangnya 20 persen untuk alokasi pendidikan. Pemerintah berusaha semaksimal mungkin ikut terlibat dalam pembiayaan pendidikan, namun justru Muhammadiyah memanfaatkan pendidikan sebagai salah satu sumber kekayaan organisasi.
Dalam menetapkan biaya pendidikan, kampus UMMat Mataram tidak menggunakan dasar hukum UU dan peraturan yang berlaku, dalam kebijakan Biaya kuliah tunggal (BKT) dan uang Kuliah Tunggal (UKT) seperti yang di amanatkan dalam UUPT No. 12 tahun 2012, biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat melalui SPP tunggal, dalam penerapannya di kampus UMmat, masyarakat tidak hanya membayar SPP, Namun biaya kuliah yang dibebankan kepada masyarakat meliputi biaya-biaya lain yang dititapkan melalui SK Rektor.
Selain biaya SPP, mahasiswa juga harus membayar sejumlah item (jenis) pembayaran di luar SPP, mahasiswa diwajibkan membayar biaya skripsi Rp. 800 ribu, biaya yudicium Rp. 750 ribu, biaya wisuda Rp. 1.750.000, biaya KKN Rp. 1 juta, biaya sumbangan perpustakaan Rp. 150 ribu Perangkatan wisuda, biaya translate (abstrak) Rp. 50 ribu permahasiswa, biaya surat keterangan sehat dari klinik kampus Rp. 35 ribu perlembar, biaya laboratorium, biaya studi tour. Biaya program kampus merdeka Rp. 1.250.000 permahasiswa dan sejumlah biaya-biaya lain yang belum diuraikan di sini.
Biaya-biaya diluar SPP ini tampak kecil bagi masyarakat yang mampu, namun berat bagi yang tidak mampu. Murah bagi UMMat, namun jika dihitung secara keseluruhan dari total mahasiswa aktif maka angka-angka diatas mencapai puluhan miliar. Jika ditambahkan dengan pendapat kampus melalui SPP, maka pendapatan Muhammadiyah yang didapat dari kampus UMMat mencapai ratusan miliar tiap tahun.
Mahalnya biaya pendidikan di UMMat menutup akses bagi masyarakat Indonesia yang kurang mampu, dan tentu Muhammadiyah menjadi salah satu penyebab utama hilangnya akses masyarakat untuk memperoleh pendidikan, yang artinya Muhammad bertanggung jawab penuh terhadap rendahnya Sumber Daya Manusia, dan rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) masyarakat NTB. Mahalnya biaya pendidikan yang ditetapkan oleh MUHAMMADIYAH juga menjadi salah satu faktor rendahnya daya beli masyarakat, artinya mahalnya biaya pendidikan berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan, dan kemiskinan menjadi biang keladi masalah-masalah sosial (pencurian, perampokan, korupsi, pelacuran dan kejahatan lainnya)
Selain mahalnya biaya tambahan di luar SPP, biaya SPP persemester di UMMat juga sangat tinggi dan tidak sesuai dengan indeks kemahalan wilayah NTB yang hanya Rp. 2.300.000. dalam peraturan dirjen kemenristekdikti tahun 2021, biaya sumbangan pendidikan ditetapkan sebesar Rp. 2.300.000 persemester. artinya kebijakan SPP di setiap kampus Berbadan Hukum Tidak lebih dari Rp. 2.300.000, namun SPP di UMMat jauh diatas ketentuan peraturan menteri No. 22 tahun 2021 tentang tatacara penentuan UKT/BKT, yakni mahasiswa di UMMat rata-rata membayar biaya SPP persemester Rp. 6 Juta permahasiswa.
2. BIROKRASI UMMAT, Bantuan pemerintah melalui KIP untuk mahasiswa miskin disunat.
Dalam menjawab akses masyarakat miskin, pemerintah menetapkan kuota penerima program kartu Indonesia pintar
(KIP) dengan menetapkan setiap mahasiswa penerima bantuan KIP program studi akreditasi A sebesar Rp. 12 Juta persemester, mahasiswa pada prodi/jurusan Akreditasi B Rp. 8 juta persemester dan mahasiswa pada program studi/jurusan akreditasi C sebesar Rp. 4 juta persemester.
Penetapan biaya pendidikan pada mahasiswa penerima bantuan KIP harus sesuai dengan indek kemahalan wilayah dan jumlah rata-rata biaya SPP mahasiswa umum. Pada program studi dengan nilai akreditasi A, pada angkatan tahun 2021 SPP mahasiswa Umum ditetapkan Rp. 4 juta persemester dan SPP penerima KIP sama dengan mahasiswa umum. Namun mulai pada tahun 2022, SPP mahasiswa penerima KIP ditetapkan naik menjadi Rp. 8 juta persemester dan biaya SPP mahasiswa umum masih Rp. 4 juta. Ini menunjukan bahwa kampus UMMAT sengaja membuat kebijakan sendiri untuk membenarkan pengelola kampus mengambil uang negara yang dialokasi untuk rakyat miskin penerima KIP.
Pengelola Muhammadiyah tidak hanya menetapkan satuan biaya pendidikan melalui SPP yang mahal dan biaya-biaya tambahan diluar SPP untuk menghisap rakyat, namun alokasi APBN/APBD untuk rakyat miskin melalui bantuan beasiswa juga di Umbat oleh birokrasi UMMat dengan memotong bantuan KIP mahasiswa PPKN angkatan tahun 2021 sebesar Rp. 8 juta dari total 400 lebih mahasiswa penerima KIP. Atau setiap semester, Kampus UMMat memotong bantuan pemerintah untuk mahasiswa miskin penerima KIP mencapai Rp. 3,2 miliar setiap smester dan atau Rp. 6,4 miliar pertahun, sehingga tidak heran mahasiswa penerima KIP banyak yang drop Out (putus kuliah).
3. Kejahatan kemanusiaan di sektor pendidikan
Tidak hanya biaya pendidikan yang cukup mahal, namun kebijakan-kebijakan otoriter juga kerap ditunjukan oleh pihak kampus UMMat. Pada tahun 2023 saja, kebijakan otoriter ditunjukkan melalui skorsing satu semester 1.600 mahasiswa pada awal smester genap tahun 2023 karena tidak lunas dan telat membayar SPP.
Kemudian menjelang smester ganjil tahun 2023, ada 133 mahasiswa yang di sanksi 1 smester, 80 mahasiswa di skorsing 2 semester, 18 mahasiswa di skorsing 4 smester dan 17 mahasiswa di Drop OUT (dikeluarkan) melalui SK rektor No. 96/2023 yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei. Dalam SK rektor tersebut, 248 mahasiswa dianggap melanggar disiplin karena dianggap tidak melakukan pembayaran SPP sesuai keterangan pada lampiran SK tersebut. Penetapan sanksi indisipliner terhadap mahasiswa yang tidak mampu membayar SPP adalah kejahatan kemanusiaan luar biasa dan tragedi terbesar dalam sejarah pendidikan tinggi di Indonesia.
Ribuan mahasiswa nasibnya terbengkalai dan pihak kampus UMMat justru mengatakan, bahwa mahasiswanya sendiri sebagai penjahat karena tidak membayar SPP. Sadar atau tidak, perilaku jahat yang mereka tuduhkan pada mahasiswanya adalah gambaran kejahatan dari birokrasi kampus. Artinya kesalahan dan kejahatan yang dilakukan oleh mahasiswa UMMat wujud dari didikan dan actualisasi apa yang didapatkan dari lingkungan kampus UMMat
4. Kampus Ummat menjadi industri jasa dengan sistem transaksi tunai yang kejam.
Kampus UMMat yang dikelola dibawah naungan Muhammadiyah dalam setiap kebijakannya hanya berbicara profit bagi lembaga kemuhammadiyahan, dan oleh sebab itu, dalil-dalil pembenaran selalu digunakan oleh pihak kampus untuk melepaskan diri dari tuntutan dan persoalan yang ditimbulkannya. Ketidak-terbukaan informasi yang dilakukan oleh birokrasi UMMat menunjukan, ada masalah besar dalam pengalokasian anggaran Kampus, yang diduga dialokasikan untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan aktifitas akademik kampus UMMat.
Dalam UU No.8 tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik, bahwa setiap lembaga yang sumber anggarannya diperoleh dari rakyat maupun langsung dan tidak langsung merupakan layanan publik yang pengelolaan keuangannya harus dipertanggung jawabkan didepan Publik. Oleh sebab itu, kampus UMMat yang 95 persen sumber keuangannya didapat dari IURAN Mahasiswa melalui SPP, maka wajib menyampaikan informasi keuangan didepan publik (mahasiswa). Namun, WR3 UMMat yang bernama Erwin didepan mahasiswanya menyampaikan, *bahwa pihak mereka (ummat dan Muhammadiyah) tidak berkewajiban menyampaikannya di depan mahasiswa dan selalu mengatakan, bahwa soal keuangan kampus adalah masalah internal kami*. Lalu kepada siapa pihak UMMat mempertanggung jawabkan keuangan kampus, kalau bukan di depan rakyat dan di depan pemerintah terkait?
Kita akui Muhammadiyah adalah ormas yang cukup besar dan memiliki pengaruh, namun apakah berarti itu jadi pembenaran pihak birokrasi di UMMat berlaku otoriter dan tidak Transparansi dalam mengelola keuangan kampus? Jika karena kekuatan dan nama besar yang disandang Muhammadiyah sehingga membenarkan praktik inskonstitusional (melanggar hukum) yang merugikan rakyat dan pemerintah, maka hal ini tidak boleh dibiarkan.
Praktek inskonstitusional yang dilakukan oleh Muhammadiyah berdampak serius terhadap pelanggaran hak rakyat. Bahkan pelanggaran hak berdemokrasi untuk menyampaikan pendapat dimuka umum dikekang oleh UMMat dan tidak segan menghakimi mahasiswa yang dianggap merugikan nama institusi Muhammadiyah. Dalam memberikan sanksi terhadap mahasiswa yang dianggap merugikan nama Muhammadiyah, SK rektor tentang DO dan skorsing ribuan mahasiswa merupakan keputusan bersama dari tingkat Pusat (PP), Pimpinan Wilayah (PW) dan rapat pimpinan UMMat. Hal ini sebagai bukti kuat, bahwa kampus UMMat adalah ladang bisnis yang dikelola dibawah naungan Muhammadiyah untuk memperkaya individu atau kelompok tertentu.
5. Birokrasi UMMat selalu bilang Rugi, tapi Muhammadiyah makin kaya raya.
SK Rektor tentang klasifikasi sanksi terhadap, 133 mahasiswa yang di SP1 karena menurut kampus melakukan pelanggaran ringan (tidak bayar SPP 1 smester), 80 mahasiswa yang diskorsing 2 smester karena menurut mereka melakukan pelanggaran sedang (tidak bayar SPP 2 smester) dan 35 mahasiswa di Drop Out dan skorsing 4 smester karena melakukan pelanggaran berat adalah sebuah skema yang disusun secara sistematis dari tingkat pusat, tingkat wilayah dan birokrasi UMMat untuk memeras mahasiswa. 248 mahasiswa dikriminalisasi, yang sanksinya sudah dipersiapkan melalu SK Rektor yang ditanda-tangani oleh eks Rektor ummat Drs. Abd. Gani. Kasus SLIP SPP yang mencuat akhir-akhir ini adalah kejahatan serius dalam dunia pendidikan yang mengorbankan ratusan mahasiswa untuk membayar ulang SPP
1 sampai 4 smester, yang jika ditotal, 248 mahasiswa rata-rata diwajibkan membayar ulang SPP Rp. 8 juta sampai Rp. 12 Juta agar lolos dari sanksi. Sanksi untuk membayar ulang SPP bagi mahasiswa yang dikriminalisasi melalui kasus pemalsuan SLIP SPP dan cuti paksa 1.600 mahasiswa karena kampus dirugikan. Untuk menambal kerugian tersebut, pihak kampus memberikan sanksi tegas terhadap mahasiswa. Namun kerugian yang diderita oleh kampus sampai sekarang tidak pernah ditunjukan, dan kasus SLIP SPP yang dipalsukan adalah murni kriminalisasi mahasiswa dengan menjerat seluruh mahasiswa untuk menanda_tangani surat pernyataan sebagai pelaku.
Disaat ribuan mahasiswa dicuti paksa, dan ratusan mahasiswa dikriminalisasi karena dianggap oleh mereka telah melakukan perbuatan yang merugikan kampus dan mencoreng nama institusi, pihak birokrasi UMMat justru membeli mobil dinas baru merek Fortuner untuk rektor dan wakil rektor yang harga perunitnya mencapai Rp. 800 juta. Bahkan Muhammadiyah sedang membangun proyek rumah sakit di Lombok Tengah dan gencar membebaskan lahan. Bahkan kasus pengadaan lahan di samping kampus UMMat sampai sekarang masih belum kelar-kelar yang merugikan uang kampus hingga puluhan miliar.
*Apakah kriminalisasi 248 mahasiswa dan pemotongan bantuan KIP adalah skema kampus untuk mendukung ekspansi Muhammadiyah?*
Ditengah ratapan mahasiswa yang kekurangan fasilitas kampus, ditengah gaji dosen dan pegawai rendahan yang masih jauh dari standar UMP/UMK yang berlaku, ditengah fasilitas dan tenaga pengajar yang tidak berkualitas, maka ekspansi Muhammadiyah untuk membangun rumah sakit, Pom bensin dll tentu sangat irasional.
Uang SPP yang dibayarkan oleh mahasiswa dan biaya-biaya lain yang cukup tinggi, justru tidak meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di kampus UMMat. Sebagian besar alokasi pembiayaan pendidikan kampus UMMat juga tidak dalam kapasitas peningkatan kesejahteraan securty, cleaning service dan gaji dosen/karyawan. Namun SPP mahasiswa yang biaya-biaya lain yang cukup besar pengalokasiannya justru diperuntukan organisasi Muhammadiyah, yakni Seluruh perangkat organisasi dan struktur Pimpinan Pusat dan wilayah serta IMM mendapat jatah setiap tahunnya dari kampus UMMat.
Mahalnya biaya pendidikan di kampus UMMat yang ditanggung oleh mahasiswa tidak menjadikan mahasiswa UMMat mendapat perlakuan yang manusia dan dilindungi hak-haknya. Namun mahasiswa yang menjadi sumber kekayaan Muhammadiyah justru dikelola seperti sapi perahan dan ditidak diprioritaskan untuk berkembang, bahkan mahasiswa dilarang untuk kritis dan mengkritik dan mahasiswa sama sekali tidak boleh tau dan tidak didengarkan suara keluh kesahnya. Kampus Muhammadiyah menjadi sangat anti demokratis seiring makin banyak masalah dan dugaan penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi kampus UMMat.
Opini: FPMR