Sasambotimes, Mataram- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merilis Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun 2022 yang dilakukan di Pemerintah Kabupaten (Pemkab Bima). Survei tersebut bertujuan memetakan capaian pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam upaya penguatan sistem integritas. Terdapat sejumlah indikator yang menjadi objek penilian, diantaranya; Transparansi, Pengelolaan SDM, Pengelolaan Anggaran, Integritas Pelaksanaan Tugas, Perdagangan Pengaruh (trading in influence), Pengadaan Barang dan Jasa dan lainnya.
Sementara, sumber data berasal dari ratusan responden, baik internal (Pegawai Pemkab) juga pihak eksternal (penerima layanan, mitra kerja sama dan para ahli).
Penentuan skor SPI diperoleh berdasarkan nilai yang bersumber dari gabungan responden internal dan eksternal yang mengetahui, melihat dan memahami kondisi Pemerintahan. Mekanisme penentuan nilai menggunakan angka 0-100 dengan logika: semakin rendah angkanya, maka semakin tinggi potensi korup. Angka 0-67.9 bermakna sangat rentan (Merah). Angka 68-73.6 bermakna rentan (Kuning). Angka 73.7-77.4 bermakna waspada (Biru) dan angka 77.5-100 bermakna terJaga (Hijau).
Pegawai Melawan
Pemkab Bima secara umum, mendapatkan skor 68.02 dalam SPI KPK 2022. Angka tersebut menempatkan “Bima Ramah” rentan korupsi. Data itu menjadikan Bima sebagai “juara kedua” dibawah Pemkot Bima untuk potensi korupsi tertinggi di Pulau Sumbawa. Namun, secara khusus SPI yang bersumber dari responden Pegawai Pemkab, justru menunjukan daerah dengan motto “Tohora Ndai Sura Dou Labo Dana” dalam keadaan sangat rentan korupsi. Seluruh objek yang dinilai berwarna merah. Ini uraiannya:
• Risiko suap atau gratifikasi sebanyak 29. 82 persen.
(Presentasi ini bersumber dari keterangan Pegawai yang melihat atau mendengar pegawai lain, menerima suap dan gratifikasi, baik dalam bentuk uang, barang atau fasilitas)
• Risiko Nepotisme dalam pengelolaan SDM sebanyak 35.89 persen.
(Pegawai menilai, masih ada unsur kedekatan dengan Pejabat dan hubungan darah dalam pengelolaan SDM).
• Risiko Jual Beli Jabatan sebanyak 24.77 persen.
(Pegawai menilai pemberian uang, barang atau fasilitas berpengaruh dalam promosi atau mutasi Pegawai).
• Risiko Trading In Influence atau perdagangan pengaruh sebanyak 33.99 persen.
(Pegawai menilai pengambilan keputusan pada instansi, seperti penentuan pemenangan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), manajemen SDM serta penerimaan program bantuan ada campur tangan pihak lain).
• Risiko Pengelolaan PBJ, sebanyak 33.72 persen.
(Pegawai menilai pengelolaan PBJ bermasalah, seperti kualitas barang dan jasa yang lebih rendah dari harga, adanya gratifikasi, dan penentuan pemenang sebelum lelang berjalan)
•Risiko Penyalahgunaan Fasilitas Kantor sebesar 67,89 persen.
(Pegawai menilai ada pegawai yang menyalahgunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi).
•Risiko Penyalahgunaan Perjalanan Dinas sebanyak 28.33 persen.
(Pegawai melihat atau mendengar pegawai lain, yang membuat biaya lain dalam perjalanan dinas)
Fakta ini tidak jauh berbeda dengan SPI KPK di Pemkab Tahun 2021. Secara umum daerah yang dipimpin Hj. Indah Dhamayanti Putri itu hanya mendapatkan skor 68.95 (Kuning) atau rentan korupsi. Tapi secara khusus sesuai hasil SPI dari responden Pegawai Pemkab, justru menunjukan bahwa Bima berwarna merah atau sangat rentan korupsi. Begini rinciannya;
• Risiko suap atau gratifikasi sebanyak 36,36 persen.
• Risiko Nepotisme dalam pengelolaan SDM sebanyak 45 persen.
• Risiko Jual Beli Jabatan sebanyak 36.4 persen.
• Risiko Trading In Influence atau perdagangan pengaruh sebanyak 35.07 persen.
• Risiko Pengelolaan PBJ, sebanyak 41.69 persen.
• Risiko Penyalahgunaan Fasilitas Kantor sebesar 64,94 persen.
• Risiko Penyalahgunaan Perjalanan Dinas sebanyak 40.26 persen.
Krisis Keteladanan
Fenomena tersebut, bukti nyata bahwa bukan hanya publik, yang paham “tidak baik dan bersihnya” Pemerintahan. Dalam diamnya, Pegawai, berani menyampaikan apa adanya, kondisi daerah. Tentu disini, KPK menjamin kerahasiaan responden, jika tidak gelombang mutasi bahkan demosi tidak akan terelakan.
Fenomena itu juga mengisyaratkan bahwa Bima tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Deretan kasus korupsi, nepotisme, dan nepotisme hanyalah fenomena gunung es, yang tidak bisa mengungkap seluruh kejadian. Inilah alasan objektif daerah diobok-obok, dan keadilan pembangunan yang tak kunjung tiba.
Nampak terang Pegawai tidak menemukan keteladanan. Pimpinan Dinas juga mengalami hal yang sama. Mestinya Bupati Bima dan Wakil Bupati jadi contoh integritas, yang mendidik, membina dan mengarahkan mereka. Buruknya, pegawai tidak menemukan sikap itu, karena Bupati diduga berkepentingan untuk merawat KKN.
Alhasil, daerah dalam keadaan gundah atau tidak punya pemimpin, yang dianggap baik, bersih juga berintegritas. Wajar saja, layanan dan kebijakan publik buruk. Pantas saja KKN bertumbuh. Disisi lain, harta Bupati meningkat tajam, berbanding terbalik dengan meluasnya kesenjangan disisi rakyat.
Komitmen Kepala Daerah, membangun pemerintahan yang baik dan bersih, hanyalah slogan yang menutupi kenyataan sebenarnya. Daerah sepertinya, telah mengalami pembusukan dari dalam. Kita harus bersiap-siap untuk jatuh.
Siapa yang harus jadi keteladanan di buruknya kualitas integritas Pemkab Bima?
Opini || Oleh: Wahyudin Awalid